Filosofi Jawa yang berbunyi, “Wong nandur becik, bakal ngundhuh wohing kabecikan” (Orang yang menanam kebaikan, kelak akan memanen buah kebaikan), adalah sebuah ajaran moral yang universal, terbungkus rapi dalam kearifan agraria Nusantara. Pepatah ini tidak hanya sekadar nasihat, tetapi merupakan perumpamaan paling nyata dari Hukum Karma (hukum sebab-akibat) yang diambil langsung dari siklus kehidupan padi, tanaman pangan utama di Indonesia.
Padi (yang kemudian menjadi beras) menjadi simbol sempurna dari hukum ini karena proses pertumbuhannya yang jujur, transparan, dan tidak pernah berkhianat pada apa yang ditanam.
1. Kejujuran Benih dan Tindakan
Seorang petani tidak akan pernah bisa menipu hasil panennya. Jika ia menanam benih padi yang unggul dan sehat, ia pasti akan memanen bulir padi yang berisi dan melimpah. Sebaliknya, jika ia menanam benih yang sakit atau jelek, atau bahkan menanam rumput, maka ia tidak akan pernah bisa berharap memanen padi.
Filosofi ini mengajarkan bahwa hidup kita adalah ladang, dan setiap tindakan adalah benih yang kita tabur. Benih yang baik (becik) berupa kejujuran, kerja keras, empati, dan ketulusan, secara alami akan menghasilkan buah (wohing kabecikan) berupa kedamaian hati, kepercayaan orang lain, dan kesuksesan yang berkah. Tidak ada hasil yang instan atau palsu; hasil yang kita terima adalah cerminan murni dari apa yang kita berikan.
2. Proses dan Kesabaran Petani
Hukum karma sering kali disalahpahami sebagai balasan yang datang tiba-tiba. Namun, filosofi padi mengajarkan aspek penting: proses dan waktu. Petani tidak menanam hari ini dan memanennya besok. Ada masa menunggu yang panjang, penuh tantangan dari hama, cuaca, dan pengairan. Selama masa tunggu itu, petani harus merawat sawahnya dengan sabar, telaten, dan konsisten.
Hal ini menjadi refleksi bahwa memanen buah kebaikan tidak selalu terjadi seketika. Terkadang, kita harus melewati masa-masa sulit (hama dan cuaca buruk) setelah berbuat baik. Namun, selama kita menjaga “tanaman” kebajikan kita dengan ketekunan, hasil yang dijanjikan oleh hukum sebab-akibat pasti akan datang pada waktunya. Kesabaran (dalam bahasa Jawa: narima ing pandum) adalah kunci utama.
3. Panen sebagai Akumulasi
Padi tidak tumbuh hanya dari satu biji; ia menghasilkan ribuan bulir dari satu tangkai. Panen yang melimpah adalah hasil dari akumulasi benih yang ditanam secara konsisten di lahan yang dirawat dengan baik.
Dalam konteks karma, hal ini berarti kebahagiaan sejati atau kesuksesan yang abadi bukanlah hasil dari satu kali perbuatan baik yang besar, melainkan buah dari ribuan kebaikan kecil yang dilakukan secara rutin dan tanpa pamrih. Setiap senyum, setiap bantuan tulus, setiap kata-kata baik adalah bulir-bulir benih yang, ketika dikumpulkan, akan menghasilkan “panen raya” berupa kehidupan yang bermakna dan berlimpah berkah.
“Wong nandur becik, bakal ngundhuh wohing kabecikan” adalah pengingat harian bagi manusia untuk senantiasa sadar terhadap apa yang mereka tabur di dunia. Ia mengajarkan kita untuk tidak berfokus pada hasil instan, melainkan pada kualitas benih dan konsistensi perawatan. Sebab, hasil panen hidup kita, baik atau buruk, pada akhirnya akan selalu sesuai dengan benih yang pernah kita tanam.
Sudah coba Beras Banyuwangi? Rasakan pulennya hari ini!