Di balik setiap butir nasi yang kita santap, tersembunyi kisah suci dan filosofi mendalam yang telah diwariskan turun-temurun, terutama di kalangan masyarakat agraris Jawa dan Sunda. Inti dari penghormatan ini adalah sosok Dewi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan yang dipuja sebagai sumber utama kehidupan dan kemakmuran.
Pengorbanan Sang Dewi Kehidupan
Mitologi tentang asal-usul padi sangat beragam, namun hampir semua versi mengisahkan sebuah pengorbanan suci. Versi yang paling umum menceritakan bahwa padi berasal dari tubuh Dewi Sri (atau Nyi Pohaci) setelah ia meninggal. Dalam salah satu kisah Sunda, setelah kematiannya, dari pusar Sri Pohaci tumbuhlah padi, sementara dari bagian tubuhnya yang lain tumbuh berbagai tanaman pangan.
Pengorbanan diri inilah yang menjadikan padi, beras, dan akhirnya nasi, sebagai benda yang sangat disucikan. Setiap butir nasi bukan hanya karbohidrat, tetapi juga perwujudan fisik dari anugerah ilahi dan pengorbanan sang dewi. Inilah yang mendasari tradisi dan ritual penghormatan di sawah, seperti upacara Wiwitan (sebelum panen) di Jawa atau Seren Taun (setelah panen) di Sunda, yang bertujuan meminta restu dan mengucapkan terima kasih kepada Dewi Sri.
Filosofi Nasi yang Menangis
Penghormatan tertinggi ini melahirkan sebuah etika makan yang kuat, diwujudkan dalam kepercayaan populer: “Nasi akan menangis jika tidak dihabiskan.”
Frasa ini bukan sekadar takhayul, melainkan pesan moral yang sarat makna. Masyarakat meyakini bahwa menyisakan nasi sama artinya dengan tidak menghargai:
-
Pengorbanan Dewi Sri: Membuang nasi berarti menyia-nyiakan anugerah suci yang berasal dari tubuh sang dewi itu sendiri.
-
Kerja Keras Petani: Setiap butir nasi adalah hasil jerih payah, keringat, dan ketekunan petani yang telah berbulan-bulan berjuang melawan hama, cuaca, dan tantangan alam.
-
Keberkahan (Rezeki): Dalam konteks Jawa dan Sunda, nasi adalah simbol rezeki. Membuangnya diyakini dapat mendatangkan kesialan, atau bahkan membuat sang Dewi Padi berpaling, yang pada akhirnya mengakibatkan kesukaran mencari rezeki.
Konsekuensinya, membuang nasi dianggap sebagai perbuatan yang sangat tidak etis dan tidak sopan terhadap alam maupun sesama.
Refleksi Kontemporer
Di era modern yang serba cepat, filosofi Dewi Sri dan nasi yang menangis tetap relevan. Kepercayaan ini mengajarkan kita tentang nilai ketaksia-siaan (tidak menyia-nyiakan) dan rasa syukur.
Nasi bukan hanya makanan pokok, tetapi juga jembatan yang menghubungkan kita dengan alam, mitologi, dan budaya nenek moyang. Penghormatan terhadap butir nasi mendorong kita untuk hidup lebih bijaksana, mengambil makanan secukupnya, dan senantiasa menghargai setiap proses panjang di balik piring sajian. Ini adalah pengingat abadi bahwa kemakmuran dan kehidupan berasal dari tanah, dan harus kita jaga dengan penuh kerendahan hati.
Sudah coba Beras Banyuwangi? Rasakan pulennya hari ini!