Beras (kome), bagi masyarakat Jepang, bukanlah sekadar makanan pokok, melainkan fondasi spiritual dan budaya yang tak terpisahkan dari agama asli mereka, Shinto. Keterikatan antara beras, sawah, dan dewa (kami) adalah inti dari pemahaman Jepang tentang kosmos dan alam. Sawah (ta atau tambo) dianggap sebagai ruang suci tempat manusia berinteraksi langsung dengan alam ilahi, dan siklus penanaman serta panen mencerminkan siklus kehidupan itu sendiri.

Beras Banyuwangi - Pabrik Beras Banyuwangi

Beras sebagai Persembahan Utama (Shinsen)

 

Dalam Shinto, persembahan yang disebut shinsen disajikan kepada kami di kuil atau altar rumah (kamidana) untuk menunjukkan rasa syukur dan memohon perlindungan. Dari semua persembahan, beras—terutama nasi yang dimasak (gohan) atau beras mentah—selalu menjadi yang paling utama. Beras melambangkan esensi kehidupan, kemakmuran, dan kemurnian.

Peran beras ini berakar pada mitologi. Amaterasu Ōmikami, Dewi Matahari dan leluhur Kaisar Jepang, dikatakan telah mengirim cucunya, Ninigi-no-Mikoto, ke bumi dengan membawa Tiga Harta Suci dan benih padi. Tindakan ini secara efektif menahbiskan beras sebagai karunia dari para kami yang penting bagi kelangsungan hidup bangsa.

Ritual dan Siklus Tanam

 

Seluruh kalender ritual Shinto secara historis dipetakan berdasarkan siklus penanaman padi. Ritual-ritual ini bertujuan untuk memastikan panen yang melimpah dan menenangkan roh-roh alam yang menguasai sawah dan air.

  • Menanam (Musim Semi): Sebelum menanam benih, ritual permohonan (kinen-sai) dilakukan. Ritual ini meminta kami untuk memberikan air dan cuaca yang baik.

  • Panen (Musim Gugur): Puncak spiritual terjadi saat panen. Dua ritual kekaisaran terpenting yang melibatkan beras adalah:

    • Kannamesai (Persembahan Pertama) yang diadakan di Kuil Ise, di mana beras panen pertama dipersembahkan kepada Amaterasu.

    • Niinamesai (Festival Panen Besar) yang dilakukan oleh Kaisar. Dalam ritual kuno ini, Kaisar secara simbolis berbagi hasil panen baru—terutama nasi dan sake (anggur beras)—dengan para kami dan memakannya sendiri, suatu tindakan yang menegaskan peran Kaisar sebagai penghubung antara dunia manusia dan dunia ilahi.

Simbolisme Kesucian

 

Beras tidak hanya dimakan, tetapi juga digunakan dalam bentuk lain yang memiliki makna sakral. Misalnya, shimenawa—tali jerami padi yang menandai batas-batas suci atau mengelilingi objek yang dianggap sebagai tempat bersemayam kami—menegaskan bahwa hasil dari sawah adalah benda suci.

Selain itu, sake (anggur beras) dianggap sebagai penghubung spiritual yang kuat. Dibuat dari beras murni, sake dipersembahkan kepada kami dan kemudian diminum oleh para peserta ritual sebagai tindakan komunal yang disebut naorai (berbagi makanan dengan kami). Ini memungkinkan manusia untuk berpartisipasi dalam kekuatan dan berkah ilahi yang terkandung dalam persembahan beras.

Dengan demikian, dari setiap bulir nasi di mangkuk hingga festival panen besar yang dipimpin Kaisar, beras berfungsi sebagai penghubung hidup, abadi, dan suci antara rakyat Jepang dan kami mereka, menjadikan sawah sebagai jantung spiritual yang berdenyut dari budaya Shinto.

Sudah coba Beras Banyuwangi? Rasakan pulennya hari ini!

BERAS BANYUWANGI - BINTANG PUSAKA JAYA