Beras dalam Filsafat Jawa: Simbol Kehidupan dan Kesuburan
Di Jawa, beras—atau padi—bukan sekadar komoditas pertanian atau sumber karbohidrat. Ia adalah inti peradaban, pembentuk identitas, dan subjek utama dalam tatanan filsafat hidup masyarakat Jawa. Jauh sebelum menjadi nasi di piring, sebutir padi telah melalui proses kultural yang sakral, menjadikannya simbol fundamental kehidupan, kesuburan, dan kemakmuran.
Padi sebagai “Ibu Kehidupan”
Dalam pandangan Jawa kuno, padi sering dikaitkan dengan Dewi Sri (atau Dewi Asri), manifestasi dewi kesuburan dan pertanian. Pengaitan ini menempatkan padi pada posisi yang sangat dihormati. Dewi Sri dianggap sebagai Ibu Pemberi Kehidupan (Ibu Panguripan) yang memastikan kelangsungan hidup manusia. Penghormatan ini terwujud dalam berbagai ritual yang menyertai setiap tahapan hidup padi.
Misalnya, pada masa tanam, panen, hingga penyimpanan di lumbung, selalu ada upacara sederhana atau sesajen (sajen). Ini bukan sekadar ritual, melainkan bentuk rasa syukur dan permohonan restu agar padi tumbuh subur, jauh dari hama dan bencana. Ketika padi disimpan di lumbung, beberapa masyarakat masih memperlakukannya layaknya seorang ibu yang sedang tidur, menunjukkan betapa sakralnya bahan pangan ini.
Simbol Kesuburan dan Kesejahteraan
Konsep kesuburan (atau kemakmuran) dalam Jawa sangat erat dengan ketersediaan pangan, dan ini diwakili oleh padi. Petani yang sawahnya menghasilkan panen melimpah dianggap tidak hanya sukses secara materi, tetapi juga telah menjalankan kewajibannya secara spiritual.
Istilah-istilah dalam bahasa Jawa yang berkaitan dengan padi juga menunjukkan penghargaan yang tinggi:
-
Gabah: Padi yang sudah lepas dari tangkai.
-
Wos: Beras, inti yang telah dipisahkan dari sekam.
-
Sega: Nasi, bentuk akhir yang siap dikonsumsi.
Perjalanan dari Gabah menjadi Wos, lalu menjadi Sega melambangkan proses transformasi dan kesempurnaan. Nasi yang dimakan adalah hasil akhir dari kerja keras, kesabaran, dan interaksi harmonis antara manusia dan alam. Oleh karena itu, membuang-buang nasi adalah perbuatan tercela (pamali), karena dianggap tidak menghargai proses spiritual yang panjang dan anugerah dari Dewi Sri.
Padi dalam Tatanan Sosial
Padi juga berfungsi sebagai perekat sosial. Budaya gotong royong (bekerja sama) dalam menanam dan memanen padi—dikenal sebagai tandur dan derep—adalah praktik yang memperkuat ikatan komunitas. Pembagian hasil panen, tradisi wiwitan (upacara sebelum panen), dan kebiasaan saling berbagi hasil bumi menegaskan bahwa kesejahteraan adalah milik bersama, bukan individual.
Filosofi ini mengajarkan tentang keseimbangan (keseimbangan) dan harmoni (harmoni)—antara petani dan tanah, antara alam dan manusia, serta antara individu dan komunitas. Kehidupan yang damai dan makmur tidak akan tercapai tanpa adanya ketersediaan beras, yang secara harfiah menopang fisik dan spiritual masyarakat Jawa.
Intinya, beras dalam filsafat Jawa melampaui fungsinya sebagai makanan. Ia adalah penjelmaan dari dewi, penanda kemakmuran, dan kurikulum hidup yang mengajarkan manusia tentang kerja keras, kesabaran, rasa syukur, dan pentingnya menjaga harmoni dengan alam semesta. Penghormatan terhadap sebutir beras adalah penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Sudah coba Beras Banyuwangi? Rasakan pulennya hari ini!