Beras Purba yang Terlupakan
Beras, bagi sebagian besar masyarakat Asia, lebih dari sekadar makanan pokok. Ia adalah fondasi peradaban, simbol budaya, dan bagian tak terpisahkan dari identitas. Namun, di balik dominasi beras putih modern yang pulen dan mudah diolah, tersimpan kisah-kisah tentang beras-beras purba yang kini terlupakan. Varietas-varietas ini, yang pernah menjadi primadona di masanya, kini terdesak oleh laju modernisasi pertanian dan selera pasar. Mengenal kembali mereka adalah upaya melestarikan keanekaragaman hayati dan warisan kuliner yang kaya.

Mengapa Mereka Langka?
Kelangkaan beras purba bukanlah tanpa alasan. Sebagian besar varietas modern, seperti IR64 yang dikenal sebagai beras Ciherang di Indonesia, dikembangkan melalui revolusi hijau untuk menghasilkan panen yang lebih tinggi, tahan hama, dan memiliki siklus tanam yang lebih pendek. Ini adalah solusi logis untuk mengatasi masalah ketahanan pangan. Namun, di sisi lain, varietas purba sering kali memiliki hasil panen yang lebih rendah, memerlukan perawatan lebih intensif, dan siklus tanam yang lebih lama. Faktor-faktor ini membuat petani enggan menanamnya, dan konsumen pun lebih memilih beras yang mudah diakses dan harganya terjangkau.
Beras Purba dari Penjuru Nusantara
Indonesia, sebagai salah satu lumbung padi terbesar di dunia, memiliki kekayaan varietas purba yang luar biasa. Salah satunya adalah beras Adan Krayan, mutiara dari dataran tinggi Krayan, Kalimantan Utara. Beras ini dikenal dengan aromanya yang wangi dan rasanya yang pulen, konon mampu bertahan puluhan tahun di lumbung padi.
Di Sulawesi Selatan, terdapat beras Cempo Merah yang memiliki warna merah keunguan dan tekstur yang lebih keras. Beras ini kaya akan antioksidan dan sering digunakan untuk upacara adat. Sementara itu, di pegunungan Jawa, kita bisa menemukan beras Ketan Hitam lokal yang memiliki rasa lebih kaya dan aroma lebih kuat daripada ketan hitam modern.
Beras Hitam: Lebih dari Sekadar Makanan
Salah satu jenis beras purba yang kini mulai kembali populer adalah beras hitam. Dulunya, di Tiongkok kuno, beras ini dikenal sebagai “beras terlarang” karena hanya boleh dikonsumsi oleh kaisar dan bangsawan. Kaya akan antosianin, pigmen yang memberinya warna gelap, beras hitam memiliki manfaat kesehatan yang luar biasa. Ia adalah sumber antioksidan, serat, dan protein.
Tantangan dan Harapan
Upaya untuk melestarikan beras purba ini tidaklah mudah. Selain masalah ekonomi dan pertanian, tantangan lainnya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang keberadaan dan manfaatnya. Namun, ada secercah harapan. Beberapa petani dan komunitas adat kini berkolaborasi dengan peneliti untuk menghidupkan kembali varietas-varietas ini. Mereka mendirikan lumbung benih lokal dan mempromosikan beras purba melalui festival dan pasar khusus.

Kesimpulan
Sudah coba Beras Banyuwangi? Rasakan pulennya hari ini!
