Paris mungkin dikenal sebagai ibu kota roti dunia, namun jika Anda berjalan menyusuri jalanan di Distrik ke-13 (Quartier Asiatique) atau kawasan Belleville, aroma yang tercium bukanlah mentega dari croissant, melainkan wangi harum dari nasi melati yang baru matang. Pengaruh komunitas Indocina—Vietnam, Kamboja, dan Laos—telah mengubah wajah gastronomi Prancis, menjadikan beras bukan sekadar makanan pendamping, melainkan elemen budaya yang krusial.
Akar Sejarah dan Kedatangan Komunitas
Hubungan antara Prancis dan wilayah Indocina bermula dari masa kolonial. Namun, titik balik besar terjadi pada pertengahan 1970-an, ketika ribuan pengungsi dari Vietnam, Kamboja, dan Laos tiba di Prancis untuk menghindari konflik dan rezim politik. Banyak dari mereka menetap di proyek perumahan tinggi di Paris Selatan.
Para imigran ini membawa serta “harta karun” paling berharga mereka: keahlian memasak. Dalam upaya mempertahankan identitas di tanah asing, mereka mendirikan restoran keluarga dan toko kelontong. Di sinilah riz parfumé (beras melati) mulai diperkenalkan secara luas kepada warga Paris.
Dari Bahan Eksotis Menjadi Kebutuhan Pokok
Pada awalnya, beras melati dianggap sebagai bahan eksotis yang hanya ditemukan di toko khusus. Namun, komunitas Vietnam dan Kamboja berhasil melakukan “diplomasi kuliner” melalui hidangan populer seperti Phở (sup mi sapi) dan Bò Bún (salad bihun). Meski hidangan tersebut berbasis mi, nasi tetap menjadi jantung dari makanan rumah tangga dan menu plat du jour di restoran-restoran Asia.
Keberhasilan jaringan ritel seperti Tang Frères—yang didirikan oleh keluarga keturunan Tionghoa-Laos—memainkan peran kunci. Mereka mengimpor beras melati berkualitas tinggi dalam skala besar, membuatnya terjangkau dan tersedia bagi masyarakat umum. Kini, beras melati bukan hanya dikonsumsi oleh komunitas Asia, tetapi telah menjadi stok wajib di dapur keluarga Prancis modern yang menginginkan variasi selain kentang atau roti.
Adaptasi dan Akulturasi Rasa
Di Paris, beras melati mengalami proses akulturasi. Restoran-restoran Kamboja dan Vietnam menyajikannya dengan sentuhan lokal, seperti Riz Loc Lac (nasi tomat dengan tumisan sapi) yang sangat populer di kalangan warga lokal Prancis. Tekstur beras melati yang lembut, sedikit lengket, dan aromatik sangat cocok dengan palet rasa Prancis yang menghargai kelembutan dan aroma alami.
Selain itu, komunitas ini membawa teknik pengolahan beras yang beragam, mulai dari kertas beras (galettes de riz) untuk nems (lumpia goreng) hingga hidangan penutup berbahan dasar beras ketan. Hal ini memperkaya kosa kata kuliner Prancis yang sebelumnya hanya mengenal beras melalui riz au lait (puding susu) yang manis.
Warisan yang Terus Harum
Hari ini, pengaruh Indocina telah menjadikan Paris sebagai salah satu pusat kuliner Asia terbaik di Eropa. Beras melati telah “menjajah” meja makan Paris dengan cara yang paling damai: melalui rasa. Ia menjadi simbol resiliensi komunitas imigran yang berhasil mengubah kerinduan akan kampung halaman menjadi sebuah warisan yang kini dinikmati oleh jutaan orang.
Bagi warga Paris, semangkuk nasi putih yang mengepul kini bukan lagi simbol makanan asing, melainkan bagian dari identitas kuliner kota yang terus berkembang dan inklusif.
Sudah coba Beras Banyuwangi? Rasakan pulennya hari ini!