Kisah di Balik Program Swasembada Beras Indonesia

 

Program Swasembada Beras pada era Orde Baru sering dikenang sebagai salah satu pencapaian terbesar Indonesia dalam sektor pangan. Ini adalah kisah ambisi nasional untuk mencapai kemandirian, yang mencapai puncaknya pada tahun 1984, ketika Indonesia menerima penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) atas keberhasilannya beralih dari negara pengimpor besar menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan berasnya sendiri.

 

Namun, di balik narasi keberhasilan tersebut, tersembunyi sebuah kisah panjang yang melibatkan mobilisasi besar-besaran, teknologi baru, dan dampak sosial-ekonomi yang kompleks.

Beras Banyuwangi - Pabrik Beras Banyuwangi

Benih Inovasi dan Mobilisasi Petani (BIMAS)

 

Kisah swasembada dimulai jauh sebelum 1984. Sejak awal pemerintahannya, rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menempatkan ketahanan pangan, khususnya beras, sebagai prioritas utama dan kunci stabilitas politik. Langkah besar pertama adalah meluncurkan program intensifikasi pertanian, yang paling terkenal adalah Bimbingan Massal (BIMAS) pada akhir 1960-an.

BIMAS adalah paket kebijakan terpadu yang bertujuan mendongkrak hasil panen secara drastis. Program ini mencakup penyediaan:

  1. Benih Unggul: Penggunaan varietas padi unggul baru seperti IR-8 dan IR-5 (yang menghasilkan tanaman lebih pendek namun bulir lebih banyak).

  2. Pupuk dan Pestisida: Subsidi besar-besaran untuk input pertanian modern.

  3. Kredit dan Penyuluhan: Akses permodalan yang mudah dan bimbingan teknis intensif dari petugas lapangan.

Program ini didukung oleh infrastruktur irigasi yang diperbaiki dan didanai oleh pinjaman luar negeri, serta stabilisasi harga melalui peran sentral BULOG (Badan Urusan Logistik) sebagai penyerap hasil panen petani dan pengontrol stok nasional.

 

Puncak Kejayaan 1984: Dari Pengimpor Menjadi Pengekspor

 

Melalui penerapan BIMAS dan program intensifikasi lainnya (seperti INMAS), produksi beras melonjak tajam. Data menunjukkan produksi beras nasional meningkat dari sekitar 12 juta ton pada awal Orde Baru menjadi lebih dari 25 juta ton pada tahun 1984.

Tahun 1984 menjadi titik balik bersejarah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modernnya, Indonesia tidak hanya berhenti mengimpor beras, tetapi bahkan mampu mengekspor sedikit surplus. Momen ini diakui dunia internasional, yang mengukuhkan citra Indonesia sebagai negara agraris yang berhasil menerapkan Revolusi Hijau. Keberhasilan ini tidak hanya berdampak pada peningkatan gizi dan pendapatan petani, tetapi juga menjadi legitimasi politik bagi rezim saat itu.

 

Warisan Kontroversial: Biaya Sosial dan Lingkungan

 

Meskipun gemilang, program swasembada beras membawa serta biaya yang cukup besar:

  • Monokultur dan Ketergantungan: Fokus berlebihan pada beras menyebabkan penyeragaman pola tanam (monokultur), mengorbankan diversifikasi pangan lokal (seperti jagung, ubi, dan sagu). Hal ini juga menyebabkan ketergantungan tinggi petani terhadap pupuk dan pestisida kimia.

  • Dampak Lingkungan: Penggunaan bahan kimia yang masif merusak kesuburan tanah dan keseimbangan ekosistem sawah.

  • Guncangan Politik: Keberhasilan swasembada sempat goyah pada akhir 1980-an akibat serangan hama Wereng Cokelat yang masif, menunjukkan kerapuhan sistem pertanian yang terlalu homogen.

  • Warisan Beras Sentris: Sampai hari ini, beras masih menjadi tolok ukur utama ketahanan pangan Indonesia, membuat diversifikasi makanan pokok menjadi tantangan yang berkelanjutan.

BERAS BANYUWANGI - BINTANG PUSAKA JAYA

Program Swasembada Beras adalah bukti nyata kekuatan intervensi negara yang terencana. Ia berhasil memberi makan populasi besar dan mencapai mimpi kemandirian pangan. Namun, kisah ini juga menjadi pelajaran berharga bahwa pembangunan pangan yang lestari tidak cukup hanya berorientasi pada peningkatan hasil panen, tetapi juga harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kekayaan keragaman pangan lokal. Keberhasilan 1984 adalah catatan emas, tetapi warisannya menuntut Indonesia untuk terus mencari model ketahanan pangan yang lebih seimbang dan berkelanjutan.

Sudah coba Beras Banyuwangi? Rasakan pulennya hari ini!

BERAS BANYUWANGI - BINTANG PUSAKA JAYA