Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan instan, kita sering lupa bahwa kebijaksanaan sejati sering kali tersembunyi dalam ritual sederhana yang telah dilakukan nenek moyang selama ribuan tahun. Salah satunya adalah menampi beras. Bukan sekadar pekerjaan domestik, menampi beras adalah sebuah proses alamiah yang mengajarkan kita seni memilah, menyaring, dan membersihkan diri dari kotoran hidup.

Beras Banyuwangi - Pabrik Beras Banyuwangi

Goyangan Nyiru: Seni Memilah

 

Proses menampi dimulai dengan beras yang diletakkan di atas nyiru (atau tampah), alat pipih lebar dari anyaman bambu. Beras tersebut—yang baru digiling—tidak pernah sempurna. Selalu ada sisa-sisa sekam, batu kerikil kecil, atau butiran beras yang patah (menir), atau bahkan butiran hampa (gabah). Ini adalah gambaran sempurna dari kehidupan kita. Hidup, layaknya beras yang baru diproses, selalu bercampur antara inti dan sampah.

Ibu-ibu di desa akan menggoyangkan nyiru dengan gerakan memutar dan naik-turun yang ritmis. Gerakan ini bukan sekadar mengacak; ini adalah cara cerdas untuk menggunakan hukum fisika: butiran yang padat dan bernilai (beras utuh) akan menetap di tengah dan di bawah, sementara benda yang ringan dan tak berguna (sekam dan gabah) akan terlempar ke pinggir atau melayang keluar.

 

Inti dan Gabah dalam Kehidupan

 

Filosofi di sini sangat jelas: kita harus aktif mengguncang kehidupan kita. Masalah atau tantangan yang datang adalah guncangan. Jika kita hanya berdiam diri, inti dan kotoran akan tetap bercampur. Kita perlu gerakan—refleksi, analisis, atau tindakan—untuk memisahkan mana yang layak dipertahankan dan mana yang harus dibuang.

  • Gabah dan Sekam adalah metafora untuk hal-hal yang tidak bernilai namun mengambil tempat: gosip tak penting, dendam masa lalu, kebiasaan buruk yang tidak produktif, atau bahkan orang-orang toksik yang tidak mendukung pertumbuhan kita.

  • Beras Utuh adalah inti kehidupan yang harus kita jaga: tujuan sejati, nilai-nilai, hubungan yang sehat, dan waktu untuk pengembangan diri.

Tanpa digoncang, sekam akan tetap menempel, membuat hidangan akhir menjadi pahit dan tidak bersih. Tanpa mengguncang masalah, kita tidak akan tahu mana yang merupakan “inti” dari konflik dan mana yang hanya “buih” emosi sesaat.

 

Kesabaran dan Keterimaan

 

Ada pelajaran penting lain: kesabaran. Menampi tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa atau amarah. Jika terlalu kuat diguncang, beras yang berharga justru bisa tumpah. Proses ini membutuhkan ritme yang stabil dan ketenangan batin.

Hal ini mengajarkan kita tentang bagaimana menghadapi krisis. Ketika masalah datang, kita harus mengayunkan nyiru masalah itu dengan sabar, tidak dengan panik. Selain itu, alat yang digunakan—tampah—dalam bahasa Jawa diartikan sebagai tampa yang bermakna menerima. Artinya, kita harus menerima semua yang ada di hidup kita, baik beras maupun sekam, lalu mulai proses pembersihan dengan hati yang lapang.

BERAS BANYUWANGI - BINTANG PUSAKA JAYA

Pada akhirnya, menampi beras adalah tentang purifikasi—pembersihan diri. Dengan membuang sekam dan gabah, beras menjadi bersih, siap dimasak, dan menjadi sumber kehidupan. Demikian juga dengan kita. Dengan memilah dan melepaskan hal-hal tak penting, kita menjadi bersih, fokus, dan siap menjadi sumber manfaat (nasi) bagi diri sendiri dan orang lain.

Jadi, ketika hidup mulai terasa kotor atau kacau, mungkin inilah saatnya berhenti sejenak, mengambil “nyiru” di tangan, dan mulai menampi.

Sudah coba Beras Banyuwangi? Rasakan pulennya hari ini!

BERAS BANYUWANGI - BINTANG PUSAKA JAYA