Beras, yang kini menjadi bahan pokok dan primadona dalam hidangan perjamuan di seluruh Jazirah Arab, memiliki kisah panjang migrasi kuliner. Meskipun wilayah Arab telah lama menjadi pusat perdagangan, teknik memasak dan penghormatan terhadap beras yang kita lihat hari ini sebagian besar merupakan warisan yang diimpor dan diadaptasi dari dua kekuatan kuliner bersejarah di timur: Persia (Iran) dan India.

Beras Banyuwangi - Pabrik Beras Banyuwangi

Warisan Mewah dari Persia: Seni Pilaf

Pengaruh Persia mungkin merupakan yang paling mendasar dalam membentuk cara orang Arab memasak dan menyajikan nasi. Teknik kunci yang diadopsi secara luas adalah pilaf (atau polo dalam bahasa Persia). Teknik ini melibatkan menumis beras dalam lemak (mentega atau minyak), menambahkan kaldu berbumbu, dan membiarkannya matang dengan uap hingga butiran-butirannya terpisah, ringan, dan mengembang.

Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah (sekitar abad ke-8 hingga ke-13), yang berpusat di Baghdad—sebuah wilayah yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Persia—nasi mulai bertransformasi dari sekadar makanan menjadi seni. Persia mewariskan konsep nasi sebagai piring utama yang kaya, sering kali diwarnai dengan saffron, atau dicampur dengan buah-buahan kering, kacang-kacangan, dan daging yang dimasak secara terpisah.

Adaptasi Persia di Arab menghasilkan hidangan seperti Ruz Bukhari (Nasi Bukhara) dan berbagai bentuk pilaf yang kini populer di Levant dan Irak. Dalam hidangan ini, beras dimasak dengan presisi, menghasilkan tekstur yang lebih kering dan ‘berdiri’ dibandingkan bubur atau nasi yang lengket.

Sentuhan Rempah dari India: Teknik Biryani dan Dum

Sementara Persia memberikan kerangka teknis, India menyumbangkan palet rasa yang jauh lebih kompleks dan berani. Melalui jalur perdagangan maritim yang sibuk, terutama melalui pelabuhan-pelabuhan di Yaman dan Oman, rempah-rempah India—bersama dengan teknik memasaknya—mengalir ke Jazirah Arab.

Pengaruh paling menonjol dari India adalah Biryani. Biryani, hidangan berlapis kaya yang memadukan beras Basmati yang panjang dan harum dengan bumbu aromatik, daging yang dimarinasi, dan seringkali menggunakan teknik Dum (memasak dengan uap tertutup dalam pot yang disegel), diadopsi dan diarabkan.

Di wilayah Teluk, Biryani bertransformasi menjadi Kabsa (Arab Saudi) dan Mandhi (Yaman), meskipun dengan modifikasi. Kabsa mempertahankan penggunaan rempah-rempah yang kuat (seperti lada hitam, kapulaga, dan kayu manis), tetapi mempermudah proses berlapis Biryani India. Sementara itu, Mandhi, yang unik karena dimasak dalam oven bawah tanah (tannour), masih sangat bergantung pada kualitas beras Basmati India dan kombinasi rempah hangat yang serupa dengan yang ditemukan di Asia Selatan.

Konvergensi dan Identitas Baru

Saat ini, hidangan nasi Arab adalah hasil konvergensi kedua tradisi ini:

  1. Penggunaan Beras Basmati: Preferensi kuat terhadap butiran panjang dan aromatik, yang umumnya merupakan hasil budidaya India dan Pakistan.

  2. Teknik Pemasakan Terpisah: Nasi dimasak dengan kaldu dan bumbu, meniru presisi pilaf Persia.

  3. Intensitas Bumbu: Penggunaan rempah-rempah yang kaya (bukan hanya saffron) untuk membumbui nasi dan daging, mencerminkan kompleksitas India.

Pada akhirnya, kuliner Arab tidak hanya mengadopsi seni memasak nasi, tetapi juga menginternalisasinya, menciptakan identitas hidangan yang kini menjadi ciri khas mereka sendiri, disempurnakan untuk selera lokal. Nasi di Arab adalah bukti hidup dari pertukaran budaya yang dinamis di jalur perdagangan kuno.

Sudah coba Beras Banyuwangi? Rasakan pulennya hari ini!

BERAS BANYUWANGI - BINTANG PUSAKA JAYA